Buku dan gitar itu adalah dua buah benda yang sangat dekat denganku selain keluarga dan teman-temanku. Buku dan Gitar itu tidak henti-hentinya menginspirasiku. Buku dan Gitar itu memberikan pengetahuan tentang sesuatu yang baru dan selalu menghiburku. Betapa beruntungnya aku meski hanya menikmatinya meski kadang harus meminjam dengan kawan2. Karena harga buku yang tidak jarang membuatku lansung berteriak "MAK" ketika berada di toko buku. Tapi beruntungnya aku dibanding seorang anak seperti cerita di bawah ini.
Singkat cerita seorang anak pembantu mengirim pesan sms kepada ibunya yang berisi ''Bu, kirimi saya uang Rp 50 ribu,'' pinta sang anak. Terjadilah dialog lewat telepon genggam itu.
''Untuk apa?''
''Buat beli gitar.''
''Gitar apa boleh dibeli lima puluh ribu?''
''Gitar teman saya. Gitarnya bagus, sebenarnya ia sangat senang dengan gitar itu.''
''Kalau itu gitar kesayangannya, mengapa dijual.''
''Dia perlu untuk membeli buku.''.
Bagi sebagian orang uang Rp 50 ribu itu bukan apa-apa. Uang itu sama sekali tidak cukup bahkan untuk sekadar minum kopi berdua di kafe. Apalagi untuk pergi ke salon, atau konser musik yang kini tiketnya sudah menembus angka 'juta'. Bagi para pelaku bisnis politik, serta makelar proyek, uang senilai itu lebih tidak berarti apa-apa. Itulah realitas dan fenomena yang ada.
Seorang anak rela menjual barang yang disayanginya untuk sesuatu yang semestinya mudah mendapatkannya: Buku. Ini menjadi ironi kedua karena negara tengah keras berusaha meningkatkan layanan pendidikan bagi masyarakat. Upaya tersebut dilakukan, antara lain, melalui peningkatan anggaran pendidikan agar mencapai angka 20 persen. Sebagian dari anggaran itu tentu untuk pengadaan buku. Dengan dana pendidikan yang terus meningkat, anggaran pengadaan buku pun menjadi sangat besar hingga mencapai triliunan. Sangat banyak orang yang terlibat dalam dunia perbukuan yang ikut menikmati sedapnya dana melimpah itu. Beberapa orang yang lihai mengolah proyek bahkan menjadi miliarder karena buku.
Kesungguhan semua pihak untuk menaikkan anggaran pendidikan semestinya membuat tak seorang pun siswa kesulitan mendapatkan buku. Tak seorang pun siswa perlu membeli buku. Pada 1980-an pun, siswa sama sekali tak perlu membeli buku. Semua tersedia di sekolah. Tugas siswa tinggal belajar.(http://republika.co.id)
Namun kita lihat kondisi sekarang, tampak betapa semakin menderitanya sebagian besar saudara-saudara kita bahkan diri kita sendiri mungkin akibat betapa jauhnya kita dari hakikat hidup sebenarnya. Betapa kita hidup dalam suatu sistem negara yang kufur. Kini tinggal harapan disertai doa dan tindakan untuk bergerak kearah yang lebih baik tentunya. Kesadaran untuk mengkaji ilmu dan realita dengan logika dan hati nurani. Hehe... kok gak nyambung dengan judul yach? Itu seninya. Hehe ^_^ Serius moga saja didengar "mereka" disana.
Singkat cerita seorang anak pembantu mengirim pesan sms kepada ibunya yang berisi ''Bu, kirimi saya uang Rp 50 ribu,'' pinta sang anak. Terjadilah dialog lewat telepon genggam itu.
''Untuk apa?''
''Buat beli gitar.''
''Gitar apa boleh dibeli lima puluh ribu?''
''Gitar teman saya. Gitarnya bagus, sebenarnya ia sangat senang dengan gitar itu.''
''Kalau itu gitar kesayangannya, mengapa dijual.''
''Dia perlu untuk membeli buku.''.
Bagi sebagian orang uang Rp 50 ribu itu bukan apa-apa. Uang itu sama sekali tidak cukup bahkan untuk sekadar minum kopi berdua di kafe. Apalagi untuk pergi ke salon, atau konser musik yang kini tiketnya sudah menembus angka 'juta'. Bagi para pelaku bisnis politik, serta makelar proyek, uang senilai itu lebih tidak berarti apa-apa. Itulah realitas dan fenomena yang ada.
Seorang anak rela menjual barang yang disayanginya untuk sesuatu yang semestinya mudah mendapatkannya: Buku. Ini menjadi ironi kedua karena negara tengah keras berusaha meningkatkan layanan pendidikan bagi masyarakat. Upaya tersebut dilakukan, antara lain, melalui peningkatan anggaran pendidikan agar mencapai angka 20 persen. Sebagian dari anggaran itu tentu untuk pengadaan buku. Dengan dana pendidikan yang terus meningkat, anggaran pengadaan buku pun menjadi sangat besar hingga mencapai triliunan. Sangat banyak orang yang terlibat dalam dunia perbukuan yang ikut menikmati sedapnya dana melimpah itu. Beberapa orang yang lihai mengolah proyek bahkan menjadi miliarder karena buku.
Kesungguhan semua pihak untuk menaikkan anggaran pendidikan semestinya membuat tak seorang pun siswa kesulitan mendapatkan buku. Tak seorang pun siswa perlu membeli buku. Pada 1980-an pun, siswa sama sekali tak perlu membeli buku. Semua tersedia di sekolah. Tugas siswa tinggal belajar.(http://republika.co.id)
Namun kita lihat kondisi sekarang, tampak betapa semakin menderitanya sebagian besar saudara-saudara kita bahkan diri kita sendiri mungkin akibat betapa jauhnya kita dari hakikat hidup sebenarnya. Betapa kita hidup dalam suatu sistem negara yang kufur. Kini tinggal harapan disertai doa dan tindakan untuk bergerak kearah yang lebih baik tentunya. Kesadaran untuk mengkaji ilmu dan realita dengan logika dan hati nurani. Hehe... kok gak nyambung dengan judul yach? Itu seninya. Hehe ^_^ Serius moga saja didengar "mereka" disana.
Comments