"Keluarga akan mendekati titik kepunahan total," kata Ferdinand Lunberg, pengarang The Coming World Transformation.
Satu hal yang aku sukai di daerah pedesaan,ikatan keluarga. Ayah, ibu, kakek dan nenek tiap hari kumpul bersama. Hidup damai, tenteram, tak tergesa-gesa. Setiap hari bisa bertatap muka berkumpul bersama. Sore menjelang senja biasanya orang-orang berkumpul di teras sekedar ngobrol ringan diikuti canda-tawa baik dengan keluarga sendiri maupun dengan tetangga-tetangga lain.
Lalu masuk era industrialisasi, berubahlah suasana apalagi didaerah perkotaan. Hubungan manusia dengan tempat pemukiman terancam sirna. Manusia pun mulai menjalani kehidupan serba keras, lapar, berbahaya, dan mengelana.
Betapa pentingnya sebuah rumah meskipun hanya sebuah gubuk bagi sebuah kelaurga. Seek home for rest, for home is best." Carilah rumah untuk istirahat, sebab rumah itu paling ramah. Begitu nasehat Thomas Tussers dalam Instructions to housewifery, sebuah buku petunjuk abad ke-16. Yang lain lagi, "A man's home is his castle ..." (rumah seseorang adalah istananya). "Home, sweet home ..." (rumahku, rumah yang manis). Begitu mesra hubungan manusia dengan rumahnya.
Lalu datang industrialisasi modern. Ia kian menuntut adanya massa pekerja yang siap dan mampu meninggalkan tanahnya untuk mencari pekerjaan dan pindah tempat berkali-kali. Ini berbeda sekali dengan masyarakat tani yang cenderung menetap menetap untuk jangka waktu yang lama. Revolusi industri mulai merenggangkan kasih mesra manusia dengan tempat tinggalnya.
Akibatnya, keluarga besar (extended family) termasuk di dalamnya ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek dan nenek, sedikit demi sedikit terpaksa "merampingkan tubuhnya". Timbullah apa yang dinamakan "keluarga inti" (nuclear family). Itulah dia, suatu unit keluarga yang ringkas, portable (mudah dibawa) kemana-mana. Ia hanya terdiri dari suami, istri dan sejumlah kecil anak mereka. Keluarga ini, yang jauh lebih mobile sifatnya dari keluarga besar tradisional, jadi model standar di semua negara. Termasuk di Indonesia.
Dampaknya ternyata juga bukan hanya memperenggang hubungan manusia dengan rumahnya, tetapi juga memperpendek tali kasih manusia dengan sesama manusia lainnya. Termasuk dengan sesama anggota keluarga. Mulailah banyak yang merasakan hidup bagai dalam losmen belaka. Tamu-tamunya jarang berjumpa, seolah-olah tidak saling mengenal. Tak ada waktu untuk membicarakan masalah-masalah bersama. Tak ada pula aktivitas yang ditujukan untuk kepentingan bersama.
Kegiatan mondar-mandir, bermusafir dan pindah tempat tinggal, akhirnya jadi kebiasaan hidup. Makin besar mobilitas, makin banyak perjumpaan tatap muka yang singkat. Kontak antar manusia jadi sepintas, yang masing-masing merupakan hubungan tertentu yang fragmentaris dan dalam waktu yang amat terbatas. Kebiasaan ini pun terbawa dalam kontak keluarga. Tentu ya ... sentuhan kasih, akhirnya tinggal menunggu senja tiba.
Satu hal yang aku sukai di daerah pedesaan,ikatan keluarga. Ayah, ibu, kakek dan nenek tiap hari kumpul bersama. Hidup damai, tenteram, tak tergesa-gesa. Setiap hari bisa bertatap muka berkumpul bersama. Sore menjelang senja biasanya orang-orang berkumpul di teras sekedar ngobrol ringan diikuti canda-tawa baik dengan keluarga sendiri maupun dengan tetangga-tetangga lain.
Lalu masuk era industrialisasi, berubahlah suasana apalagi didaerah perkotaan. Hubungan manusia dengan tempat pemukiman terancam sirna. Manusia pun mulai menjalani kehidupan serba keras, lapar, berbahaya, dan mengelana.
Betapa pentingnya sebuah rumah meskipun hanya sebuah gubuk bagi sebuah kelaurga. Seek home for rest, for home is best." Carilah rumah untuk istirahat, sebab rumah itu paling ramah. Begitu nasehat Thomas Tussers dalam Instructions to housewifery, sebuah buku petunjuk abad ke-16. Yang lain lagi, "A man's home is his castle ..." (rumah seseorang adalah istananya). "Home, sweet home ..." (rumahku, rumah yang manis). Begitu mesra hubungan manusia dengan rumahnya.
Lalu datang industrialisasi modern. Ia kian menuntut adanya massa pekerja yang siap dan mampu meninggalkan tanahnya untuk mencari pekerjaan dan pindah tempat berkali-kali. Ini berbeda sekali dengan masyarakat tani yang cenderung menetap menetap untuk jangka waktu yang lama. Revolusi industri mulai merenggangkan kasih mesra manusia dengan tempat tinggalnya.
Akibatnya, keluarga besar (extended family) termasuk di dalamnya ayah, ibu, anak, paman, bibi, kakek dan nenek, sedikit demi sedikit terpaksa "merampingkan tubuhnya". Timbullah apa yang dinamakan "keluarga inti" (nuclear family). Itulah dia, suatu unit keluarga yang ringkas, portable (mudah dibawa) kemana-mana. Ia hanya terdiri dari suami, istri dan sejumlah kecil anak mereka. Keluarga ini, yang jauh lebih mobile sifatnya dari keluarga besar tradisional, jadi model standar di semua negara. Termasuk di Indonesia.
Dampaknya ternyata juga bukan hanya memperenggang hubungan manusia dengan rumahnya, tetapi juga memperpendek tali kasih manusia dengan sesama manusia lainnya. Termasuk dengan sesama anggota keluarga. Mulailah banyak yang merasakan hidup bagai dalam losmen belaka. Tamu-tamunya jarang berjumpa, seolah-olah tidak saling mengenal. Tak ada waktu untuk membicarakan masalah-masalah bersama. Tak ada pula aktivitas yang ditujukan untuk kepentingan bersama.
Kegiatan mondar-mandir, bermusafir dan pindah tempat tinggal, akhirnya jadi kebiasaan hidup. Makin besar mobilitas, makin banyak perjumpaan tatap muka yang singkat. Kontak antar manusia jadi sepintas, yang masing-masing merupakan hubungan tertentu yang fragmentaris dan dalam waktu yang amat terbatas. Kebiasaan ini pun terbawa dalam kontak keluarga. Tentu ya ... sentuhan kasih, akhirnya tinggal menunggu senja tiba.
Comments