STOP Menjadi Si Pemarah!
"Ketika anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak। Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang bijaksana. Karena waktu akan membantu anda."
Anda biasa marah ? Mungin banyak yang menganggap marah itu biasa saja dan menjadi hal yang tidak biasa salam kesehariannya. Terutama bagi mereka yang hidup di kota-kota besar, mereka yang hari-harinya disibukkan banyak pekerjaan dan permasalahan. Siapa saja pasti tidak lepas dari rasa amarah ini. Ketika terlibat dikemacetan jalan atau terlibat persilisihan atau salah paham dengan teman atau rekan kerja dan sebagainya. Memang sulit untuk mengendalikannya apalagi kondisi kita tidak sedang “balance” baik fisik maupun mental. Sehingga tidak jarang kita mengalami strees.
Marah bisa terjadi dimana saja. Dirumah, suami bisa marah marah kepada istrinya karena sang istri tidak sesuai dengan harapan suami. Harapan untuk istri tetap cantik dan menjadi istri yang solehah bisa saja tidak sesuai dengan harapan dan bisa menimbulkan kemarahan dari seorang suami kepada istrinya tersebut. Atau sebaliknya. Istri juga bisa marah dengan suaminya atau dengan anaknya sendiri. Bahkan anak juga biasa kita jumpai marah dengan orang tuanya.
Sekarang mari kita melihat marah lebih ilmiah lagi. Satu langkah awal yang harus dilakukan adalah kita tidak menganggap marah itu biasa. Marah jelas bukan hal yang biasa-biasa saja. Marah adalah suatu kondisi yang luar biasa yang terjadi pada diri seseorang.
Seorang murid setelah berpikir cukup lama mengangkat tangan dan menjawab; "Karena saat seperti itu ia telah kehilangan kesabaran, karena itu ia lalu berteriak." "Tapi..." sang guru balik bertanya, "lawan bicaranya justru berada disampingnya. Mengapa harus berteriak? Apakah ia tak dapat berbicara secara halus?"
Hampir semua murid memberikan sejumlah alasan yang dikira benar menurut pertimbangan mereka. Namun tak satupun jawaban yang memuaskan. Sang guru lalu berkata; "Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak.
Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin pula mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanya pun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi."
Sang guru masih melanjutkan; "Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? Mereka tak hanya tidak berteriak, namun ketika mereka berbicara suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian?" Sang guru bertanya sambil memperhatikan para muridnya. Mereka nampak berpikir amat dalam namun tak satupun berani memberikan jawaban. "Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan."
Sang guru masih melanjutkan; "Ketika anda sedang dilanda kemarahan, janganlah hatimu menciptakan jarak. Lebih lagi hendaknya kamu tidak mengucapkan kata yang mendatangkan jarak di antara kamu. Mungkin di saat seperti itu, tak mengucapkan kata-kata mungkin merupakan cara yang bijaksana. Karena waktu akan membantu anda."
Kembali ke topik tentang marah tadi. Setelah kita tahu bahwa realitas tidak seperti yang kita inginkan, maka benar-benar kita harus sangat arif dan bijak menghadapi semua hal yang tidak sesuai dengan harapan kita. Sepertinya kita harus belajar untuk memilah dengan apa yang terjadi dalam rasa kita.Kita harus belajar untuk mengendalikan marah kita bukankah rasul telah bersabda “Yang dikatakan orang kuat bukanlah orang yang menang bergulat tetapi yang dikatakan orang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya pada waktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).Saatnya kita mulai mengendalikan marah kita dan berusaha terus untuk menghiasi hati kita dengan nilai-nilai cinta dan kasih saying. Persoalan apapun yang terjadi dalam hidup kita, tentu harus kita selesaikan, namun jangan kita menyertakan marah dalam penyelesaian itu. Pilihan selalu berada ditangan kita. Apakah kita ingin menjadi si pemarah atau si pecinta atau si penyayang?
Semoga kita bisa jadi pribadi yang bisa mengendalikan amarah dalam diri kita dan sabar dalam menghadapi ujian hidup ini karena yakinlah semua ujian itu merupakan bukti kecintaan Sang Maha Pecinta kepada kita umatnya.
Comments