Oleh: Supriadi)*
PEMBACA yang budiman, mari berhenti sejenak terkait pendidikan di negeri kita ini. Pada artikel saya kali ini ini mengangkat sebuah topik yang sangat menarik untuk disimak dan didiskusikan. "Sepakbola vs Sekolah". Penulis terinspirasi dengan topik ini karena penulis sangat konsen terhadap masalah pendidikan dan juga sangat menggemari olahraga yang sangat terkenal di jagat raya ini, sepak bola.
Saat ini dunia pendidikan Indonesia menghadapi sebuah dilema yang sarat dengan permasalahan dan tantangan. Berikut mari kita simak sebuah cerita tentang si Ahmad.
Si Ahmad anaknya pedagang kaki lima lulus SMP dengan prestasi gemilang. Dengan nilai matematika 10, kepala sekolah memberi hadiah uang Rp100 ribu ditambah Rp50 ribu dari wali kelas. Dia dan orang tuanya bangga bukan main, soalnya cukup jarang lulusan dengan nilai matematika 10, apalagi dia adalah keluarga miskin dengan gizi pas-pasan. Tatapi ia mampu membuat "breakthrough" terhadap pelajaran yang menjadi momok anak didik di sekolah-sekolah Indonesia.
Namun sayang seribu sayang nasib si Ahmad, ternyata untuk melanjutkan ke STM tidak cukup dengan nilai tinggi dan kemampuan otak saja. Orang tua si Ahmad harus menahan napas dan was-was. Ternyata sekolah negeri yang notabene "sekolah untuk rakyat tanpa pandang strata" tidak bersahabat dengan orang marginal seperti mereka. Uang Rp 2 juta harus mereka sediakan jika ingin masuk sekolah negeri itu. Lucunya lagi uang itu harus kontan dan jika pembayaran mundur maka harus menambah Rp250 ribu. Ketika salah seorang guru ditanya: Pak, kok harus kontan itu kenapa sih, Pak ?, Pak Guru menjawab: Wah, Wah, tidak tahu ya!.
Kenapa sistem tidak jelas begini ? belum lagi antar sekolah negeri di satu daerah menerapkan uang masuk yang bervariasi.
Fenomena ini jelas-jelas berpotensi merenggut potensi kekayaan intelektual masa depan. Sadarkah kita Indonesia yang selama ini telah ditahbiskan sebagai negara terkaya biodiversity juga adalah negara dengan kekayaan potensi intelektual yang luar biasa.
Keberhasilan Indonesia menjuarai olimpiade fisika dunia itu hanyalah sebagian kecil potensi anak Indonesia , karena mereka mendapatkan pendidikan di sekolah dengan standar baik (bahkan tinggi) dan orang tua mereka berpenghasilan menengah ke atas dan tinggal di kota .
Masih ada ribuan anak terpinggirkan, terkerdilkan, terlambat teridentifikasi bahkan mati potensinya akibat sistem dan birokrasi pendidikan yang buruk. Berapa ribu anak cerdas yang terpaksa menjadi anak jalanan, ngamen, dagang asongan (kalau kita lihat anak umur 6-7 tahun ngasong begini hati kita tidak tega).
Berapa ribu anak yang tidak melanjutkan sekolah karena harus ikut menopang kehidupan dengan bekerja. Dengan alasan dana orang tua untuk sekolah minim, terjadi fenomena (namun jarang teridentifikasi): berapa ribu anak cerdas dan berbakat terpaksa masuk sekolah yang sebenarnya bukan tempat untuknya ?, artinya mereka masuk sekolah-sekolah "substandard," mereka masuk sekolah yang atmosfer akademiknya buruk, mereka masuk ke suatu sekolah dengan prinsip yang penting lulus
"langsung bisa bekerja", itupun belum tentu mendapatkan kerja pasca lulus. Padahal mereka adalah teknokrat dan pemikir masa depan bangsa ini yang harus hilang dan tersisih oleh sistem keadilan yang buruk.
Ironisnya Pemda tidak segan-segan menggelontorkan dana milyaran rupiah untuk sepak bola dan bila perlu mengiris APBD puluhan milyar. Di sisi lain sekolah dengan inisiatif sendiri dan bersama sendiri menarik
sumbangan sekolah tiap tahun ajaran baru dengan alasan untuk kemajuan. Lalu ke mana dan untuk apa uang tarikan uang gedung, uang pengembangan, uang BP3 itu?. Ada yang mengatakan uang itu akan digunakan untuk membeli peralatan-peralatan untuk menunjang pendidikan, untuk membeli komputer, untuk memperbaiki parkir, untuk memperbaiki gedung, untuk memperbaiki ruang tamu kepala sekolah, untuk membeli meja kursi yang lebih "layak", membangun lapangan basket.
Pembaca yang budiman, bukankah kemajuan fisik tidak selalu berbanding lurus dengan kemajuan intelektual dan prestasi anak didik. Sudah terbukti, India yang dulu dianggap negara miskin kini mampu mengekspor lulusan universitas negara itu ke Eropa dan Amerika bahkan 1 dari 4 dokter di Amerika adalah orang India. Lembah Silicon di Seattle memperkerjakan ahli teknologi informasi konon lebih 40 persennya orang India.
Kita lihat jurnal internasional yang merupakan salah satu indicator langsung kemajuan iptek suatu bangsa banyak sekali bertebaran nama-nama orang India dengan institusi ke-Indiaanya, sedangkan orang Indonesia hanya sesekali saja muncul. Kalau Anda melihat bangunan sekolah-sekolah dan sarana di India sangat sederhana bahkan Institut Teknologi New Delhi atau Mumbay yang melahirkan insinyur kaliber internasional beberapa bangunannya kusam dan sangat jauh dari lux.
Kini India dinobatkan sebagai Negara terkaya no 12 di dunia berdasarkan pendapatan domestic bruto. Karena pendidikan mereka mementingkan substansi dari pada sekedar mengejar kemajuan fisik namun jauh dari tujuan maksud pendidikan itu sendiri.
Para pembaca yang budiman, sementara di sisi lain implementasi otonomi daerah terhadap biaya pendidikan di luar janji calon bupati dan walikota dulu waktu kampanye mau membebaskan SPP sekolah?. Ironisnya beberapa Pemda tingkat II tidak segan-segan menggelontorkan anggaran daerahnya untuk tim sepak bolanya yang mencapai belasan milyar per tahun. Bahkan karena sponsor swasta enggan enggan melirik terpaksa APBD diiris 10 milyar untuk sepak bola. Ironis!
Mungkin itulah yang tergambar dalam benak ketika beberapa waktu lampau mendengar kabar tersebut. Melihat hal tersebut banyak pihak yang yang menyarankan agar dilakukan pencabutan APBD untuk klub-klub sepak bola tersebut. Banyak pro dan kontra menanggapai masalah tersebut. Ada yang menyatakan bahwa pemerintah harus menghentikan kucuran dana buat klub-klub karena APBD daerah digunakan untuk membayar gaji pemain yang hanya bebrapa orang saja, sedangkan di luar itu lebih banyak orang yang pantas dan lebih membutuhkan.
Bagi para penggila bola atau bola mania termasuk penulis sendiri yang sangat mencintai sepak bola Indonesia tentunya tidak setuju dengan usulan pemberhentian dana APBN ke pada klub-klub sepak bola kesangan mereka. Karena jika hal tersebut dilakukan maka akan mematikan potensi olahraga khususnya sepak bola dan akan menghambat peningkatan kualitas persepakbolan yang ada. Walaupun hingga kini belum ada hasil kualitas dan prestasi yang diberikan, tapi dengan pencabutan anggaran akan lebih mematikan proses menuju kualitas tersebut.
Yang penting sekarang adalah olahraga seprti sepak bola ini mendapat porsi yang sesuai dengan mendahulukan sektor yang lebih penting. Bagaimanapun juga seharusnya daerah lebih memperhatikan sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan dengan mengalokasikan anggaran yang lebih besar.
Tentunya tugas kita bersama terutama para pemerintah dan calon pemimpin daerah ini keepan untuk memperjuangkan nasib pendidikan di daerah ini agar lebih baik dan melahirkan generasi yang bisa diandalkan untuk pembangunan. Generasi yang beriman, bertanggunjawab, cerdas, kreatif dan inovatif tentunya. Semoga...
Artikel ini diterbitkan di Harian Pontianak Post
Edisi: Kamis, 24 Mei 2007
Comments