"Rintihan dan tangis mereka merupakan cerminan dari penindasan dan “penjajahan” yang dilakukan para penguasa saat ini"
Refleksi Hari Proklamasi
Oleh: Supriadi )*
"Rintihan dan tangis mereka merupakan cerminan dari penindasan dan “penjajahan” yang dilakukan para penguasa saat ini"
Bulan Agustus adalah bulan yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak setelah melalui perjuangan panjang yang penuh pengorbanan, bangsa Indonesia berhasil mengumandangkan pekik kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan.
Pembaca yang budiman, kita akan memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-62 pada hari Jumat, 17 Agustus 2007 ini. Sudah sepantasnya kita melakukan refleksi atas perjuangan bangsa Indonesia sampai detik ini.
Pada artikel kali ini penulis akan menguraikan sedikit tentang semangat sesosok nasionalis yang pantas kita banggakan. Siapa lagi kalau bukan Ir. Dr. [HC]. H. Soekarno. Siapa sih yang tidak mengenal tokoh yang dikenal dengan bapak revolusi ini?. Beliau berhasil “menyihir” tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Bakat kepemimpinan yang sudah dimilikinya dari sejak kecil adalah berkat semangat belajarnya yang terus membara. Hobinya membaca menengelamkannya menjadi manusia pembelajar. Buku demi buku habis dibacanya. Buku-buku politik, revolusi dan literature dan lainnya. Selain itu, ternyata Soekarno juga sangat tertarik dengan dunia fantasi yaitu dunia perwayangan. Hal tersebut membuat beliau memfavoritkan seorang tokok perwayangan yang terkenal keras, berani, dan pemberontak terhadap feodalisme. Nada bicara lantang bahkan terkadang tidak sopan meskipun berbicara dihadapan para dewa. Bima, inilah tokoh yang difavoritkan beliau sehingga ia lantas mempraktekkan sosok ”Bima” di atas mimbar atau panggung. Kritikan tajam beliau
jelas membuat panas kuping penjajah Belanda.
Kebiasaan membaca buku dan ketertarikannya di dunia perwayangan inilah yang membuat Soekarno mempunyai daya imajinasi yang sangat tinggi dan mampu mengarungi kehidupannya dengan semangat dan jiwa kepemimpinan yang sangat tinggi pula. Setiap ia tampil berpidato, saat itulah semangatnya borkobar dan menyala-nyala. Tak heran jika setiap orang terhanyut terbawa arus suasana meskipun hanya didepan radio yang tua dan lusuh. Ungkapan terakhir beliau sanggup mengggetarkan sekaligus mengajak massa melakukan apa yang diserukannya. “Amerika kita setrika”, Inggris kita linggis”, Jepang kita kepang”, atau “Gayang Malaysia” dan masih banyak lagi yang lainnya.
Penulis sebagai generasi muda masa sekarang ini tentu hanya membaca dan menyaksikan sekilas sosok Soekarno. Pernahkan kita semua membayangkan hidup di jaman perang seperti yang di alami generasi patriot kita sebelumnya? Apkah kita akan ikut berjuang bersama yang lain? Belum tentu. Mungkin kita belum cukup siap untuk mempertaruhkan jiwa dan raga demi bangsa ini. Memang dunia sudah berubah. Pergeseran budaya dan tatanan kehidupan membuat jiwa nasionalis dan patriotisme semankin pudar. Budaya hedonis (menganggap kesenangan dunia adalah tujuan hidup semata) turus merongrong generasi saat ini. Budaya konsumerisme juga tidak bisa dibendung akibat pasar global yang semakin menggila. Kesadaran sosial semakin memperihatinkan. Jujurlah pada diri sendiri betapa kita masih berat hanya untuk memberikan sekeping uang logam bagi anak-anak di perempatan jalan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah kita sudah benar-benar merdeka? Coba lihat disana atau di sekeliling kita betapa saudara-saudara kita tidak dapat hidup layak di bumi yang katanya hak setiap warga Negara. Mereka harus berjuang menghadapai penggusuran. Rintihan dan tangis mereka cerminan dari penindasan dan penjajahan
yang dilakukan para penguasa saat ini.
Pembaca yang budiman, selagi dunia belum berakhir selama itulah harapan masih terbuka lebar untuk menuju ke arah yang lebih baik. Ke arah perubahan dimana semua rakyat merasakan benar-benar merdeka untuk hidup tenang, makmur dan damai. Dimana semua rakyat Indonesia dengan bangga berteriak “aku bangga menjadi bangsa Indonesia”
Artikel ini di terbitkan di Harian Equator Pontianak Edisi: Sabtu, 18 Agustus 2007
Oleh: Supriadi )*
Bulan Agustus adalah bulan yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Bagaimana tidak setelah melalui perjuangan panjang yang penuh pengorbanan, bangsa Indonesia berhasil mengumandangkan pekik kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dengan mengatasnamakan bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan.
Pembaca yang budiman, kita akan memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-62 pada hari Jumat, 17 Agustus 2007 ini. Sudah sepantasnya kita melakukan refleksi atas perjuangan bangsa Indonesia sampai detik ini.
Pada artikel kali ini penulis akan menguraikan sedikit tentang semangat sesosok nasionalis yang pantas kita banggakan. Siapa lagi kalau bukan Ir. Dr. [HC]. H. Soekarno. Siapa sih yang tidak mengenal tokoh yang dikenal dengan bapak revolusi ini?. Beliau berhasil “menyihir” tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga seluruh rakyat Indonesia.
Bakat kepemimpinan yang sudah dimilikinya dari sejak kecil adalah berkat semangat belajarnya yang terus membara. Hobinya membaca menengelamkannya menjadi manusia pembelajar. Buku demi buku habis dibacanya. Buku-buku politik, revolusi dan literature dan lainnya. Selain itu, ternyata Soekarno juga sangat tertarik dengan dunia fantasi yaitu dunia perwayangan. Hal tersebut membuat beliau memfavoritkan seorang tokok perwayangan yang terkenal keras, berani, dan pemberontak terhadap feodalisme. Nada bicara lantang bahkan terkadang tidak sopan meskipun berbicara dihadapan para dewa. Bima, inilah tokoh yang difavoritkan beliau sehingga ia lantas mempraktekkan sosok ”Bima” di atas mimbar atau panggung. Kritikan tajam beliau
jelas membuat panas kuping penjajah Belanda.
Kebiasaan membaca buku dan ketertarikannya di dunia perwayangan inilah yang membuat Soekarno mempunyai daya imajinasi yang sangat tinggi dan mampu mengarungi kehidupannya dengan semangat dan jiwa kepemimpinan yang sangat tinggi pula. Setiap ia tampil berpidato, saat itulah semangatnya borkobar dan menyala-nyala. Tak heran jika setiap orang terhanyut terbawa arus suasana meskipun hanya didepan radio yang tua dan lusuh. Ungkapan terakhir beliau sanggup mengggetarkan sekaligus mengajak massa melakukan apa yang diserukannya. “Amerika kita setrika”, Inggris kita linggis”, Jepang kita kepang”, atau “Gayang Malaysia” dan masih banyak lagi yang lainnya.
Penulis sebagai generasi muda masa sekarang ini tentu hanya membaca dan menyaksikan sekilas sosok Soekarno. Pernahkan kita semua membayangkan hidup di jaman perang seperti yang di alami generasi patriot kita sebelumnya? Apkah kita akan ikut berjuang bersama yang lain? Belum tentu. Mungkin kita belum cukup siap untuk mempertaruhkan jiwa dan raga demi bangsa ini. Memang dunia sudah berubah. Pergeseran budaya dan tatanan kehidupan membuat jiwa nasionalis dan patriotisme semankin pudar. Budaya hedonis (menganggap kesenangan dunia adalah tujuan hidup semata) turus merongrong generasi saat ini. Budaya konsumerisme juga tidak bisa dibendung akibat pasar global yang semakin menggila. Kesadaran sosial semakin memperihatinkan. Jujurlah pada diri sendiri betapa kita masih berat hanya untuk memberikan sekeping uang logam bagi anak-anak di perempatan jalan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah kita sudah benar-benar merdeka? Coba lihat disana atau di sekeliling kita betapa saudara-saudara kita tidak dapat hidup layak di bumi yang katanya hak setiap warga Negara. Mereka harus berjuang menghadapai penggusuran. Rintihan dan tangis mereka cerminan dari penindasan dan penjajahan
yang dilakukan para penguasa saat ini.
Pembaca yang budiman, selagi dunia belum berakhir selama itulah harapan masih terbuka lebar untuk menuju ke arah yang lebih baik. Ke arah perubahan dimana semua rakyat merasakan benar-benar merdeka untuk hidup tenang, makmur dan damai. Dimana semua rakyat Indonesia dengan bangga berteriak “aku bangga menjadi bangsa Indonesia”
Artikel ini di terbitkan di Harian Equator Pontianak Edisi: Sabtu, 18 Agustus 2007
Comments