“Maha” Dahsyatnya Bahasa
Kehidupan masyarakat Indonesia pada era ini sudah mengedepankan
demokrasi. Kehidupan demokrasi dimulai saat pertama kali bangsa Indonesia mengadakan pesta demokrasi pada tahun1955 . Bahasa mempunyai “power” yang maha dahsyat dalam hal ini. Kemudian, bahasa menjadi alat represif. Bahasa menjadi alat untuk menghegomoni. Sebagai alat, bahasa pun dapat direkayasa, dimanipulasi, atau diolesi di sana-sini.
Pembaca yang budiman, asal segala ketaatan adalah pemikiran. Demikian pula asal segala kemaksiatan. Hasil pemikiran itu dioperasionalkan melalui bahasa. Kitab suci Alquran, Injil, Taurat direkam menggunakan media bahasa. Teks proklamasi Kemerdekaan, Sumpah Pemuda maupun lagu Indonesia raya. dan lain-lain juga dituangkan dengan menggunakan media bahasa.
Kemampuna berbahasa di miliki manusia dari sejak lahir. Begitulah teori dari salah satu pakar bahasa yaitu Chomsky (1957). Salah satu teorinya yang terkenal Innate Hypothesis, yang menyatakan bahwa kemampuan berbahasa pada manusia sudah ada sejak lahir. Kemampuan itu secara potensial ada dalam otak manusia Language Acquisition Device (LAD).
Seiring perkembangan manusia bahasa menjadi alat kominikasi. Ia berupa kata, frasa, klausa atau kalimat yang tidak punya makna. Tetapi manusilah yang memaknainya. Tubuh manuasia juga bahasa. Semua realitas social termasuk symbol, atau kalimat isayarat juga termasuk bahasa.
Seiring perkembangannya bahasa menjadi alat untuk membangun sumber daya manusia, untuk menghibur bahkan untuk kekuasaan. Bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman dalam bahasa, adat-istiadat, dan budaya. Bahasa yang digunakan bisa mencerminkan derajat sesorang. Karena itu, pilihan dan keterampilan terhadap bahasa diharapkan dapat mencerminkan kecermatan berpikir yang menggambarkan kejernihan dalam berlogika. Lantas, mengapa artikel ini berjudul Maha dahsyatnya bahasa? Sebuah kata yang diluncurkan seseorang bahkan bisa menjadi senjata yang mematikan bagi orang lain. Kekuasaan pun dioperasionalkan melalui bahasa.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa bahasa sangat efektif untuk menciptakan pengaruh. Di dalam dunia politik bahasa sering digunakan sebagai alat politik. Ia digunakan dalam kaitannya dengan percaturan kekuasaan (power). Karena itu, bahasa politik tidak selalu dipakai untuk kejernihan makna. Bahasa yang digunakan dan dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah dan elite politik sehingga terjadi rekayasa bahasa dengan memunculkan hegemoni makna kata merupakan penyimpangan dari fungsi bahasa, yaitu sebagai alat kerja sama.
Hegemoni adalah perluasan dan pelestarian ‘kepatuhan aktif”dari kelompok-kelompok yang di dominasi kelas berkuasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik… (Latief, 1996). Dengan kata lain bahasa untuk menciptakan kesadaran dalam bentuk yang paling canggih.
Hegomoni dalam bahasa terlihat dalam penggunaan eufemisme yang dimaksudkan untuk membodohi masyarakat. Menebarkan kebohongan, memutarbalikkan fakta dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang menyebabkan terjadinya konflik karena kata-kata memiliki kekuatan yang dahsyat untuk memengaruhi.
Bahasa birokrasi terkait erat dengan system kekuasaan. Segolongan anggota masyarakat, khususnya para birokrat meluluhkan diri mereka dalam sistem ini. Namun tak jarang mereka juga meniru kebiasaan berbahasa dari penguasa tertinggi, sebagian lain berusaha keluar dari system hegemoni bahasa itu.
Ada juga pemilihan kata-kata yang mengandung eufemisme. Menurut hemat penulis, eufemisme sebaiknya digunakan untuk kesantunan bukan untuk membodohi. Eufemisme yang digunakan untuk membodohi masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan. Penggunaan kata-kata penyesuaian harga cenderung mengandung makna pengelabuhan. Karena hal yang terjadi sebenarnya kenaikan harga. Dengan menggunan kata-kata penyesuaian harga diharapkan masyarakat tidak merasa terbebani.
Dengan membiasakan diri menggunakan kata-kata yang baik, tidak mengandung muatan makna yang dapat menyinggung perasaan orang lain, memilih dan menyusun kata-kata yang mencerminkan cermat logika, ekonomis, tanpa mengaburkan makna berarti kita membiasakan diri untuk membangun SDM yang memiliki sikap berkualitas. Sistem bahasa tertentu yang merupakan kompetensi penutur bahasa akan menampakkan wujudnya dalam performansi seseorang (Chomsky, 1957).
Pada akhir dari tulisan ini penulis ingin berpesan kepada para birokrat untuk tidak menyalahgunakan bahasa demi kepentingan kekuasaan semata. Penggunaan bahasa yang hanya untuk membodohi masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan.
demokrasi. Kehidupan demokrasi dimulai saat pertama kali bangsa Indonesia mengadakan pesta demokrasi pada tahun1955 . Bahasa mempunyai “power” yang maha dahsyat dalam hal ini. Kemudian, bahasa menjadi alat represif. Bahasa menjadi alat untuk menghegomoni. Sebagai alat, bahasa pun dapat direkayasa, dimanipulasi, atau diolesi di sana-sini.
Pembaca yang budiman, asal segala ketaatan adalah pemikiran. Demikian pula asal segala kemaksiatan. Hasil pemikiran itu dioperasionalkan melalui bahasa. Kitab suci Alquran, Injil, Taurat direkam menggunakan media bahasa. Teks proklamasi Kemerdekaan, Sumpah Pemuda maupun lagu Indonesia raya. dan lain-lain juga dituangkan dengan menggunakan media bahasa.
Kemampuna berbahasa di miliki manusia dari sejak lahir. Begitulah teori dari salah satu pakar bahasa yaitu Chomsky (1957). Salah satu teorinya yang terkenal Innate Hypothesis, yang menyatakan bahwa kemampuan berbahasa pada manusia sudah ada sejak lahir. Kemampuan itu secara potensial ada dalam otak manusia Language Acquisition Device (LAD).
Seiring perkembangan manusia bahasa menjadi alat kominikasi. Ia berupa kata, frasa, klausa atau kalimat yang tidak punya makna. Tetapi manusilah yang memaknainya. Tubuh manuasia juga bahasa. Semua realitas social termasuk symbol, atau kalimat isayarat juga termasuk bahasa.
Seiring perkembangannya bahasa menjadi alat untuk membangun sumber daya manusia, untuk menghibur bahkan untuk kekuasaan. Bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman dalam bahasa, adat-istiadat, dan budaya. Bahasa yang digunakan bisa mencerminkan derajat sesorang. Karena itu, pilihan dan keterampilan terhadap bahasa diharapkan dapat mencerminkan kecermatan berpikir yang menggambarkan kejernihan dalam berlogika. Lantas, mengapa artikel ini berjudul Maha dahsyatnya bahasa? Sebuah kata yang diluncurkan seseorang bahkan bisa menjadi senjata yang mematikan bagi orang lain. Kekuasaan pun dioperasionalkan melalui bahasa.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa bahasa sangat efektif untuk menciptakan pengaruh. Di dalam dunia politik bahasa sering digunakan sebagai alat politik. Ia digunakan dalam kaitannya dengan percaturan kekuasaan (power). Karena itu, bahasa politik tidak selalu dipakai untuk kejernihan makna. Bahasa yang digunakan dan dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah dan elite politik sehingga terjadi rekayasa bahasa dengan memunculkan hegemoni makna kata merupakan penyimpangan dari fungsi bahasa, yaitu sebagai alat kerja sama.
Hegemoni adalah perluasan dan pelestarian ‘kepatuhan aktif”dari kelompok-kelompok yang di dominasi kelas berkuasa lewat penggunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik… (Latief, 1996). Dengan kata lain bahasa untuk menciptakan kesadaran dalam bentuk yang paling canggih.
Hegomoni dalam bahasa terlihat dalam penggunaan eufemisme yang dimaksudkan untuk membodohi masyarakat. Menebarkan kebohongan, memutarbalikkan fakta dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang menyebabkan terjadinya konflik karena kata-kata memiliki kekuatan yang dahsyat untuk memengaruhi.
Bahasa birokrasi terkait erat dengan system kekuasaan. Segolongan anggota masyarakat, khususnya para birokrat meluluhkan diri mereka dalam sistem ini. Namun tak jarang mereka juga meniru kebiasaan berbahasa dari penguasa tertinggi, sebagian lain berusaha keluar dari system hegemoni bahasa itu.
Ada juga pemilihan kata-kata yang mengandung eufemisme. Menurut hemat penulis, eufemisme sebaiknya digunakan untuk kesantunan bukan untuk membodohi. Eufemisme yang digunakan untuk membodohi masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan. Penggunaan kata-kata penyesuaian harga cenderung mengandung makna pengelabuhan. Karena hal yang terjadi sebenarnya kenaikan harga. Dengan menggunan kata-kata penyesuaian harga diharapkan masyarakat tidak merasa terbebani.
Dengan membiasakan diri menggunakan kata-kata yang baik, tidak mengandung muatan makna yang dapat menyinggung perasaan orang lain, memilih dan menyusun kata-kata yang mencerminkan cermat logika, ekonomis, tanpa mengaburkan makna berarti kita membiasakan diri untuk membangun SDM yang memiliki sikap berkualitas. Sistem bahasa tertentu yang merupakan kompetensi penutur bahasa akan menampakkan wujudnya dalam performansi seseorang (Chomsky, 1957).
Pada akhir dari tulisan ini penulis ingin berpesan kepada para birokrat untuk tidak menyalahgunakan bahasa demi kepentingan kekuasaan semata. Penggunaan bahasa yang hanya untuk membodohi masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan.
Comments